Kamis, 12 Februari 2009

LINGUISTIK




Harimurti Kridalaksana


Biografi


Harimurti Kridalaksana lahir di Ungaran, Jawa Tengah, pada tanggal 23 Desember 1939. Ia memiliki nama lengkap Raden Mas Hubert Emmanuel Harimurti Kridalaksana.

Pada tahun 1963 Harimurti menyelesaikan pendidikan sarjananya di Fakultas Sastra, Universitas Indonesia. Pada tahun 1971 ia mengikuti pendidikan tentang didaktik bahasa di University of Pittsburg, Amerika Serikat, dan pada tahun 1973 mengikuti summer school sekaligus menjadi visiting scholar di University of Michigan Ann Arbor, Amerika Serkat. Ia pernah menjadi Fulbright Scholar di University of Pittsburgh, Amerika Serikat, pada 1971; Ia juga pernah menjadi visiting scholar di University of Michigan, Amerika Serikat, pada 1973. Pada tahun 1985 ia menjadi pengajar dan peneliti tamu di Johan Wolfgang Goethe Universitat, Jerman. Kemudian, pada tahun 1987 ia memperoleh gelar doktor ilmu sastra .

Harimurti memulai karier dalam dunia pendidikan dan ilmu pengetahuan pada tahun 1961 ketika ia menjadi guru dalam bidang civies dan penerjemah karya-karya dalam ilmu politik dan ilmu sosial selama beberapa tahun. Pada tahun 1961 ia mulai mengabdi di Universitas Indonesia dan mendapat tugas mengajar sejarah linguistik dan linguistik historis komparatif Austronesia pada tahun 1963. Setahun kemudian Harimurti mengajar di Universitas Atma Jaya dan di pelbagai perguruan tinggi di Jakarta dan Yogyakarta, termasuk di Sekolah Staf dan Komando Angkatan
Laut, Universitas Gadjah Mada. Ia juga pernah mengajar di Frankfurt, Napoli, Kuala Lumpur, dan Bangkok. Ia juga pernah dan masih menjadi external examiner di Universiti Malaya, Universiti Putra Malaysia, Annamalia University (India), dan Universiti Brunei Darussalam. Di Universitas Indonesia ia juga pernah menjadi Ketua Jurusan Sastra Indonesia dua kali dan menjadi Koordinator Bidang Ilmu Budaya Program Pascasarjana selama dua periode.

Sebagai pakar bahasa, Harimurti telah manulis makalah lebih dari 100 dan buku lebih dari 20. Di awal kariernya, Ia pernah menulis, antara lain "Towards a standardization of phonologic and morphologic borrowed elements in Indonesian" dalam International Conference of Orientalists, Kuala Lumpur 1967; "Second participant in Indonesian address" dalam International Congress of Orientalist, Camberra (Australia) 1971; dan "Lexicography in Indonesia" dalam International Congress of Linguists, Wina (Austria) 1979. Beberapa penelitian lapangan pernah juga dilaksanakannya, antara lain penelitian sosiolinguistik di Jakarta dalam rangka kerja sama Stanford University dan Universitas Indonesia pada tahun 1969. Selain penelitian sosiolinguistik, Harimurti juga pernah mengadakan penelitian mengenai bahasa Melayu Riau di Pulau Bintan dan Pulau Lingga, lalu melanjutkan penelitiannya mengenai bahasa Orang Laut di Kepulauan Riau dan mengenai bahasa Orang Sakai di Riau Daratan dari tahun 1969 sampai dengan 1972 Penenlitian ini disponsori oleh Lembaga Research Kebudayaan Nasional LIPI. Kemudian, pada tahun 1974 ia melakukan survei politik bahasa di Malaysia, Singapura, dan Filipina.

Harimurti adalah editor Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua dan Kamus Mandarin-Indonesia. Di antara buku-buku yang pernah ditulisnya ialah Kamus Linguistik, Kelas Kata dalam Bahasa Indonesia, Pembentukan Kata dalam Bahasa Indonesia, Masa Lampau Bahasa Indonesia:Sebuah Bunga Rampai, Introduction to Word Formation and Word Classes in Indonesian, Wiwara: Pengantar Bahasa dan Kebudayaan Jawa. Makalah penting
terkini yang beredar di luar negeri berjudul "The Sanskrit legacy in Indonesia today" yang disajikannya dalam 11th World Conference of Sanskrit di Turino Italia pada 3 April 2000, dan "Paradigma semiotik dalam linguistik Melayu/Indonesia" yang disajikan di Universiti Putra
Malaysia pada 22 Oktober 2001. Dalam bulan Juli 2002 diluncurkan buku terbarunya yang berjudul Struktur, Kategori, dan Fungsi dalam Teori Sintaksis. Di organisasi profesi Harimurti juga aktif. Ia pernah menjadi anggota organisasi ilmiah seperti Linguistic Society of America, Societas Linguistica Europaea, Royal Asiatic Society, International Association of Cognitive Linguistics, Koninklijk Instituut voor Taal, Land, en Volkenkunde, Himpunan Pembina Bahasa Indonesia, Masyarakat Linguistik Indonesia, Perkumpulan Linguistik Malaysia. Ia juga menjadi salah seorang anggota International Committee on Indonesian Etymology, Ketua Himpunan Pembina Bahasa Indonesia yang pertama (2 periode), dan Ketua Masyarakat Linguistik Indonesia 2 periode. Sampai sekarang ia masih menjadi profesor teori linguistik dan Bahasa Indonesia dan Kepala Pusat Leksikologi dan Leksikografi di Universitas Indonesia; dan pada 1 Desember 1999 ia mulai menjabat Rektor Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya.

SEJARAH SASTRA

LINGUISTIK



Sabarti Akhadiah

Biografi

Sabarti Akhadiah adalah guru besar pada Universitas Negeri Jakarta. Ia dilahirkan di Jakarta pada tanggal 23 Mei 1937. Ia menyelesaikan pendidikan formal pertamanya di Sekolah Rakyat (Sekolah Dasar) Muhammadiyah I Jakarta pada tahun 1950. Kemudian, ia melanjutkan pendidikannya di SMPN II Jakarta dan menyelesaikannya pada tahun 1953. Setelah itu, ia masuk SMAN I Jakarta dan lulus tahun 1956. Pada tahun 1959 ia menyelesaikan pendidikan Sarjana Muda Bahasa dan Sastra Indonesia, Perguruan Tinggi Pendidikan Guru (PTPG) Bandung. Tiga tahun kemudian, tepatnya tahun 1962, ia mempeoleh gelar Sarjana Bahasa dan Sastra, (S-1) Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Pajajaran Bandung. Gelar akademis tertingginya diperoleh pada tahun 1983 dalam Program Doktor (S-3) Pendidikan dalam Bidang Pendidikan Bahasa, Fakultas Pascasarjana IKIP Jakarta.

Ketertarikan Ibu Barti, begitu mahasiswa sering menyapanya, dalam bidang bahasa tidak hanya diwujudkannya melalui jenjang pendidikan formal, tetapi juga dibuktikannya dengan memasuki beberapa kursus yang bertalian bidang pendidikan, khususnya bahasa asing. Kursus yang pernah diikutinya, antara lain (1) Kursus Bahasa Inggris pada tahun 1978—1982 di Jakarta; (2) Kursus Bahasa Jerman di Goethe Institut Jakarta pada tahun 1978—1982 dan 1991—1992; (3) Kursus Bahasa Jerman di Goethe Institut MURNAU Jerman pada bulan Juli—September 1992; (4) Kursus Bahasa Spanyol di IKIP Jakarta pada tahun 1993.

Selain itu, ia juga aktif mengikuti beberapa penataran dan pelatihan. Penataran dan pelatihan yang pernah diikutinya, antara lain (1) Penataran Calon Dosen Kewiraan di Lemhanas Jakarta (1973—1974); (2) Penataran University Teaching di IKIP Jakarta (1977); (3) Penataran Metode Riset Sistem Kredit dan Sekolah Pembangunan di IKIP Jakarta (1973); (4) Penataran Lokakarya Penulisan Buku Ajar untuk Perguruan Tinggi di Blandongan, Ambarawa (1986); (5) Penataran dan Lokakarya Tim inti Applied Approach di Pondok Cabe Jakarta; (6) Refrresher Program (B) di Ohio State University, Columbus USA Juni—Desember (1986); (7) Pelatihan Pengembangan Kurikulum S2 Pendidikan Dasar di University of Houston, Houston, Texas dan Ohio university, Columbus, Ohio, USA (1993—1994; (8) Penataran Lokakarya Pendalaman Materi Applied Approach, Bogor (1996).

Dalam kesibukannya sebagai guru besar, Sabarti Akhadiah juga aktif mengikuti pertemuan ilmiah, seperti seminar dan lokakarya. Seminar yang pernah diikutinya, antara lain, sebagai berikut.

1. Seminar bahasa dan sastra di berbagai universitas dan Pusat Bahasa

  1. Seminar tentang Pengajaran Bahasa dan Sastra di Berbagai IKIP / FKIP

3. Seminar Lokakarya tentang Pendidikan Dasar di Jakarta dan Columbus, Ohio & Houston Texas

4. Seminar on The Elimination of Sexstereotyping in Textbooks and Other Teaching Resources. Melbourne, Australia (1990)

5. Seminar on German as Foreign Language, Wiscounsin (1986)

6. Ohio TESOL Seminar, Columbus, Ohio USA (1986)

7. Seminar Pengajaran Kesusastraan Jerman, di Goethe Institut, MURNAU, Jerman (1992)

8. Seminar Pendidikan Kewiraan di Lemhanas, Jakarta

9. Seminar Kajian Wanita di UGM Yogyakarta

10. Seminar dan Lokakarya berkaitan dengan Sosialisasi Kesetaraan Gender, Cipayung (2001)

11. Seminar Sosialisasi Kesetaraan dan Keadilan Gender bagi Pimpinan LSM, Bekasi (2001)

12. Seminar on Early Chilhod Education di PPs Universitas Negeri Jakarta (2001)

Karier Sabarti Akhadiah sebagai tenaga pengajar dimulainya ketika ia menjadi guru SMP Karya Bakti Bandung pada tahun 1959—1961. Pada tahun 1960—1962 ia menjadi asisten dalam Mata Kuliah Logika di FKIP, Universitas Pajajaran Bandung. Pada tahun 1962—1970 ia juga menyumbangkan pikiran sebagai tenaga pengajar di Padang, Sumatra Barat. Di ranah Minang itu ia pernah menjadi guru SMA swasta di Padang 1962—1964, dosen FKIP Universitas Andalas Padang 1962—1968, dosen IAIN Padang 1963—1968, dan dosen IKIP Padang 1968—1970. Sejak tahun 1970 -- sekarang, Sabarti Akhadiah berhidmad di IKIP Jakarta (sekarang Universitas Negeri Jakarta). Selain menjadi dosen S-1, S-2, dan S-3 di kampus yang berlokasi di Rawamangun tersebut, ia juga menjabat sebagai Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa Pascasarjana.

Sabarti Akhadiah juga pernah menjadi widiaiswara di P-3-G Bahasa, Jakarta, pada tahun 1984—sekarang dan widiaiswara dalam Suscodos Kewiraan Lemhanas Jakarta pada tahun 1980—1996. Selain itu, ia juga pernah menjadi Team Leader dalam Evaluasi Program Penyetaraan D-3 ke S-1 ( 2000).

Jabatan struktural yang pernah dipegang Sabarti Akhadiah diawalinya ketika diangkat menjadi Ketua Jurusan Bahasa Indonesia, FKIP IKIP Padang pada tahun 1963—1964. Kemudian, pada tahun 1984—1988 ia menjadi Staf Ahli Pembantu Rektor I IKIP Jakarta dan pada thun 1988—1996 ia menjadi Pembantu Dekan Bidang Akademik di FPBS IKIP Jakarta. Pada tahun 1986--sekarang ia berhidmad sebagai Ketua Program Pendidikan Bahasa Program Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta. Sabarti Akhadiah juga pernah menjadi Koordinator Perkuliahan Bahasa Indonesia untuk PGSD IKIP Jakarta pada tahun 1991—1996.

Dalam perjalanan kariernya sebagai pakar bahasa, Sabarti Akhadiah banyak menghasilkan karya tulis, baik yang berupa buku maupun makalah. Buku yang pernah dihasilkannya, antara lain, sebagai berikut.

  1. Evaluasi dalam Pengajaran Bahasa (Dikti, 1988)

2. Bahasa Indonesia untuk PGSD (Tim) ( Depdikbud, 1992)

3. Pedoman Pelaksanaan Pengajaran Bahasa Indonesia di SD (P-3-GB, 1993)

4. Pedoman Pelaksanaan Pengajaran Membaca di SMP (P-3-G, 1994)

5. Pedoman Pelakasanaan Pengajaran Bahasa Indonesia di Kelas I (P-3-GB, 1996)

6. Pedoman Pelaksanaan Pengajaran bahasa Indonesia di Kelas III (P-3-GB, 1996)

7. Pembinaan Kemampuan Menulis (Tim) (Erlangga, 1997)

8. Kemampuan Menulis untuk D-3 PGSM (Depdikbud,1997)

9. Panduan Pengajaran Bahasa Indonesia untuk Kelas I Madrasah Ibtidaiyah (Depag,

1997)

10. Panduan Pengajaran Bahasa Indonesia untuk Kelas II Madrasah Ibtidaiah (Depag,

1997)

11. Evaluasi Hasil Belajar Bahasa Indonesia untuk D-3/PGSM (Depdikbud, 1997)

12. Pedoman Evaluasi Pengajaran Bahasa Indonesia untuk Kelas I dan II SD (P-3-G Bahasa, 1998)

Selain itu, Sabarti juga banyak menulis makalah dalam berbagai pertemuan ilmiah. Makalah yang pernah ditulisanya, antara lain, sebagai berikut.

1. “Sexstereotyping in Textbooks : Indonesia Case” disampaikan dalam Seminar on the Elimination of Sexstereotyping in Textbooks and Other Resources di Melbourne, Australia (1990).

2. “Kurikulum 1994 Selayang Pandang” disajikan di IKIP Medan (1995).

3. “Organisasi Pembelajaran Bahasa Holistik (Whole Language)” disajikan dalam seminar di P-3-GB (1996).

4. “Pembelajaran Terpadu di SD” disampaikan dalam penataran untuk guru SD Islam di Jakarta (1998).

5. “Bahasa dalam Pembinaan Ketahanan Nasional” disampaikan dalam Seminar Bahasa dan Ketahanan Nasional di Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (1992).

6. “Pengembangan Budaya Baca Tulis” disampaikan dalam Kongres Bahasa VI.

7. “Bahasa sebagai Sarana Komunikasi Ilmiah” disampaikan dalam Seminar Penulisan Tugas Akhor di Akademi Ilmu Komputer BSF Jakarta (1997)

8. “Evaluasi Hasil dan Proses Pembelajaran Bahasa Indonesia di SD” dimuat dalam Journal Universitas Tidar Magelang, 1997.

9. “Pengembangan Kreativitas Melalui Pengajaran Bahasa” disampaikan dalam Seminar Ilmiah IKIP Jakarta (1998).

10. “Pemberdayaan Wanita sebagai Pendidik dalam Keluarga: Ke Arah Pengembangan Masyarakat Berbudaya Keaksaraan” (Juara I Lomba Karya Tulis Ilmiah yang diselenggarakan oleh Menneg Pemberdayaan Wanita (1998).

11. “Pembelajaran Bahasa Terpadu untuk SD: Penerapan Pandangan Bahasa Holistik” disampaikan dalam Seminar Dies Natalis Universitas Bung Hatta Padang (1999).

12. “Pengembangan Bahasa Anak Usia Prasekolah” disampaikan dalam Seminar Nasional PUD PPs UNJ ( 2000).

13. “Pembelajaran Bahasa Indonesia di SD” disampaikan dalam Seminar Nasional PUD di PPs UNJ ( 2000).

14. “Materi Penyuluhan bagi Petugas Sosialisasi Pemberdayaan Perempuan” disampaikan dalam Semilok Menneg Pemberdayaan wanita di Cipayung (2001).

15. “Kesiapan Perempuan dalam Menghadapi Paradigma Baru yang Berperspektif Gender” disampaikan dalam Seminar Kantor Menneg Pemberdayaan Perempuan bekerja sama dengan Lembaga Penelitian UNJ, Agustus (2001).

Untuk menunjang kariernya dan membantu pengajar muda, Sabarti juga membuat modul, anatara lain, (1) Pendidikan Kewiraan, UT (Tim, 1985), (2) Menulis untuk MKDU (Tim, 1986), (3) Menulis I (Tim, 1988), (4) Menulis II (Tim, 1988), (5) Beberapa Teori Belajar Bahasa Kedua (1997), dan (5) Pengajaran Bahasa Kedua (1997).

Penelitian yang pernah di lakukannya, antara lain, sebagai berikut.

1. Kemampuan Membaca Siswa SD di Jakarta Utara (1989)

2. Kajian Teori ke Arah Pengembangan Kemampuan 3-R (989)

3. Pembagian Kerja dalam Rumah Tangga dengan Ibu sebagai Karyawati (1994)

4. Sikap Wanita dan Pria terhadap Upaya Peningkatan Peran Wanita dalam Pembangunan

(1994)

5. Pengembangan Materi Pengajaran Bahasa Indonesia untuk Calon Guru SD (Tim, 1995)

6. Pembelajaran Bahasa Indonesia di SD: Kajian Teoritis ke Arah Pembangunan (1996)

1. Studi dan Kajian Materi Ajar yang Berperspektif Gender (2000)

2. Studi tentang Pelaksanaan Pembelajaran Sastra di SMU (2000/2001)

3. Studi Evaluasi Program Penyetaraan D-3 ke S-1 sebagai Tim Leader (1999/2000)

4. Studi Evaluasi Pembelajaran Sastra di SMU (2000)

5. Studi tentang Materi Ajar Berperspektif Gender dalam Buku Pelajaran untuk SD

(Bahasa Indonesia, IPA, IPS, PPKn) (2000/2001)

Alamat : Jalan Swadaya Raya No. 12 RT 003/01 Duren Sawit

Jakarta Timur, Indonesia

Telepon : 62-218628249

Faksimile : 62-218628249

Kamis, 22 Januari 2009

filsafat tuhan

Agama, Mistik, dan Ecstasy

AGAMA adalah candu rakyat (Kritik atas Filsafat Hukum Hegel, 1844) merupakan teks Karl Marx yang paling umum dikenal sampai sekarang. Hanya saja, kalimat pendek ini tidak jarang salah dikutip. Kadang-kadang kita membaca religion is the opium for the people, sedangkan sebenarnya tertulis religion is the opium of the people. Perbedaannya kecil saja, hanya for dan of, tetapi bisa menimbulkan interpretasi yang menyimpang sama sekali dari aslinya.

VERSI pertama (candu bagi rakyat) memberi kesan seolah-olah agama menjadi alat dalam tangan golongan kecil (alim ulama, kaum rohaniwan) untuk mempermainkan dan menindas rakyat, barangkali atas nama dan bekerja sama dengan golongan yang berkuasa (kaum kapitalis). Kalau begitu, rakyat biasa menjadi korban penipuan karena itikad buruk segelintir orang yang berhasil merekayasa masyarakat dengan cara demikian.

Maksud Karl Marx tidak demikian. Menurut dia, agama menjadi candu rakyat sebagai suatu keadaan obyektif dalam masyarakat. Adanya agama mencerminkan struktur-struktur sosial tidak sehat dalam masyarakat. Yang dimaksud dengan struktur tidak sehat tentunya tata susunan masyarakat yang kapitalistis. Tapi, kaum kapitalis tidak menjadi biang keladi keadaan itu. Dalam arti tertentu mereka juga menjadi korban, bukan saja kaum buruh, meskipun kedudukan mereka jauh lebih menyenangkan.

Dengan menentang agama, Marx (dan semua orang yang sepakat dengan dia) sudah berusaha mengubah keadaan masyarakat yang tidak sehat itu. Dan memang begitu seluruh usaha intelektualnya. "Sampai sekarang para filsuf hanya menafsirkan dunia dengan pelbagai cara. Yang penting adalah kini kita mengubah dunia" (Tesis mengenai Feuerbach, nr. 11, 1845/46).

Mengapa Marx menyebut agama sebagai candu? Sebab, agama membuat manusia hidup dalam suatu dunia khayalan. Baginya agama adalah semacam eskapisme, usaha untuk keluar dari dunia yang nyata agar dapat masuk suatu dunia lain yang tidak lagi ditandai penderitaan dan kesusahan, suatu dunia sempurna. Agama dengan janjinya tentang surga yang penuh kebahagiaan menyediakan penghiburan yang memuaskan bila keadaan di "lembah mata air" ini (menurut suatu ungkapan keagamaan) sudah tak tertahankan lagi. Tetapi, sayangnya, dunia sempurna itu adalah mimpi belaka. Karena itu, tanpa disadari manusia menipu diri dengan mengejar dunia sempurna itu. Dengan itu manusia sendiri sangat dirugikan, sebab ia melarikan diri dari tugasnya memperbaiki nasibnya dan membuat dunianya tempat yang pantas dihuni dan dikerjakan manusia.

YANG menarik adalah bahwa dalam zaman kita sekarang terjadi kebalikannya dengan yang dilukiskan oleh Marx dulu. Jika di mata Marx agama adalah candu, kini candu menjadi agama. Dalam hal ini kita memakai kata "candu" untuk menunjukkan segala bentuk obat terlarang; tetapi selanjutnya kita memakai istilah "narkotika" saja. Pemakaian narkotika sekarang menjadi suatu masalah besar di seluruh dunia.

Memang benar, pemakaian narkotika merupakan suatu percobaan untuk melarikan diri dari keadaan konkret, suatu usaha untuk masuk dunia khayalan. Tetapi, dengan itu dicari sesuatu yang absolut, sesuatu yang definitif, sesuatu yang sungguh membahagiakan. Jadi, yang dicari melalui pemakaian narkotika justru apa yang dijanjikan oleh agama. Dengan demikian, pemakaian narkotika menjadi semacam pengganti agama. Hal itu terutama terasa di dunia Barat, tempat sekularisasi sangat menonjol, sehingga agama tidak lagi berperanan besar dalam kehidupan umum.

Hubungan antara pemakaian narkotika dan agama itu ditunjukkan oleh beberapa istilah yang digunakan dalam konteks narkotika, yang sering bercirikan bahasa keagamaan. Contoh yang paling jelas adalah nama ecstasy. Seperti diketahui, ecstasy adalah obat kimiawi yang mengalami banyak sukses sejak dasawarsa 1990-an. Menurut penelitian di Amerika Serikat, delapan persen murid sekolah menengah pernah mencoba obat terlarang ini.

Jika ecstasy adalah nama populernya, nama ilmiahnya adalah methylenedioxymethamphetamine, disingkat MDMA. Obat ini diakui berkemampuan kuat mengubah suasana hati seseorang dan bahkan kepribadiannya (mood-and personality-altering). Menurut para ahli, hal itu disebabkan oleh kesanggupannya menstimulasi zat serotonin dalam otak. Orang yang pernah mencoba suatu ecstasy trip dapat memberikan kesaksian yang cukup mengesankan tentang pengalaman ilegal itu.

Nama ecstasy itu adalah versi Inggris untuk kata Yunani ekstasis yang berarti "menempatkan diri di luar" atau "keadaan keluar dari dirinya sendiri". Ekstasis atau ekstase itu menunjukkan pengalaman mistik. Dalam semua agama-baik yang bersifat teistis maupun yang panteistis-ditemukan pola mistik sebagai puncak penghayatan keagamaan. Ekstase adalah tahap terakhir pengalaman mistik itu, di mana jiwa bersatu dengan Tuhan.

Guna mencapai saat ekstase itu, manusia harus mengikuti suatu jalan penyempurnaan yang panjang. Menurut tradisi yang berasal dari filsuf Yunani Plotinos, ia bahkan harus mengikuti tiga jalan: via purgativa (jalan pembersihan), via contemplativa (jalan kontemplatif, permenungan), dan via illuminativa (jalan penerangan, pencerahan). Pada ujung perjalanan panjang itu, makhluk insani akhirnya dapat bercampur baur dengan Sang Pencipta melalui ekstase dan dengan demikian kembali kepada sumbernya.

Menurut para mistisi, pengalaman ekstase itu ditandai ineffability: tidak mungkin diungkapkan dengan kata. Karena itu, mereka sering mencari lambang untuk merumuskan pengalaman unik ini, antara lain persatuan antara pengantin pria dan wanita. Mistisi Belanda Ruusbroec (abad ke-14), misalnya, melukiskan pengalamannya dalam buku Pernikahan Rohani. Tetapi, simbol seperti itu mudah salah dimengerti, juga karena ekstase mistik tidak merupakan suatu keadaan tetap, tidak sering terjadi, dan-kalaupun dialami-tidak berlangsung lama.

DIBANDINGKAN dengan masa lampau, dalam zaman kita sekarang mistik tidak begitu menonjol lagi dalam bidang keagamaan, meskipun tidak pernah (dan tidak mungkin juga) sampai lengkap sama sekali. Karena itu, menjadi ekstratragis bila unsur hakiki agama itu sekarang dikaitkan dengan pemakaian narkotika. Tragis, karena narkotika justru membawa kehancuran. Kehancuran fisik, mental, dan juga sosial, karena berulang kali dapat disaksikan bagaimana kasus narkotika membawa banyak penderitaan bagi lingkungannya, khususnya keluarganya.

Pemakaian narkotika bukan merupakan suatu fenomena baru. Sepanjang sejarah hal itu selalu dikenal, tetapi tidak pernah pada skala begitu besar seperti sekarang. Yang baru adalah munculnya banyak narkotika kimiawi-seperti ecstasy-di samping narkotika alami yang sudah lama dikenal, setidak-tidaknya dalam lingkungan terbatas.

Faktor baru yang lebih penting lagi adalah penyebaran narkotika menurut sistem penyaringan internasional. Baik transportasi maupun pemasaran pandai memanfaatkan jaringan komunikasi modern. Karena itu, mereka berhasil mencakup begitu banyak tempat dan mencapai begitu banyak pemakai. Dengan demikian, masalah narkotika ini menjadi suatu akibat negatif globalisasi yang menandai zaman kita.

filsafat agama

Tuhan Pasca-Tsunami

Sudah bisa diduga, dalam bencana besar seperti gempa pemboyong tsunami yang menewaskan tak kurang dari 100.000 orang Aceh ini, akan banyak sekali orang yang tidak puas dengan sekadar penjelasan ilmiah. Keterangan para ahli gempa dan tsunami soal lempengan-lempengan bumi yang bergeser setiap tahun, lantas bergetar, menelan dan lalu memuntahkan air yang sedemikian dahsyat tidak dianggap memadai untuk memuaskan dahaga keingintahuan mereka.

Makanya, selalu ada banyak orang yang terobsesi untuk tahu lebih dalam tentang penyebab terjauh dari semua itu dengan melontarkan pelbagai ultimate questions. Kalau sudah berpikir soal penyebab terjauh, perbincangan tentulah sudah masuk ke ranah filsafat atau teologi. Lantas muncullah pertanyaan: sejauh apa peran Tuhan di dalam "menghajar" sedemikian banyak korban itu? Pada titik inilah spekulasi-spekulasi teologis berlangsung dengan begitu liarnya.

Dan, benar saja. Menurut teman tadi, di masyarakat kita, kini ada beberapa spekulasi teologis yang semarak bermunculan pascagempa dan tsunami yang mengentakkan nurani dunia itu. Pertama, bagi "kiai-kiai Orba" yang punya corong untuk berkhotbah di masjid-masjid itu, bencana sebesar ini tak lain adalah hukuman Tuhan atas kealpaan dan kesombongan kita selama ini. Lebih spesifik, mereka bahkan menyebut bencana ini sebagai akibat atau buah dari pertikaian antara pelbagai elemen anak bangsa di Serambi Mekkah yang tidak kunjung usai.

Dengan elaborasi yang cenderung menyederhanakan, mereka menyayangkan TNI dan GAM yang saling bunuh. Sementara itu, rakyat Aceh juga tak kunjung taat terhadap Ibu Pertiwi, NKRI. Demikianlah tafsiran teologis yang sepenuhnya spekulatif dan kental aroma pemikiran ala Orba itu menggema di sebagian masjid.

Kedua, berbeda dengan logika hukuman tadi, tafsiran kedua justru beranggapan bahwa tragedi ini justru bersifat ujian, bukan hukuman. Di beberapa tempat, kita dapat menemukan selebaran yang mengatakan antara lain, bencana Aceh merupakan "ujian" Tuhan untuk mengukur keteguhan dan konsistensi rakyat Aceh dalam menjalankan syariat Islam. Hm….

Sekarang, ketika kita sedang bergulat dengan proses evakuasi dan rehabilitasi Aceh, muncul pula isu-isu yang menguatkan kesan bahwa Tuhan sedang menguji konsistensi dan keteguhan rakyat Aceh dalam menjalankan syariat Islam dan menjaga status Aceh sebagai Serambi Mekkah. Isu pemurtadan, kristenisasi, dan adopsi diembuskan sebagian pihak yang mungkin sedang menangguk di air keruh. Tak heran, dalam sebuah pertemuan dengan ribuan alumni Pondok Modern Gontor di Jakarta Convention Center, Jumat (7/1) lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun merasa perlu menanggapi isu-isu yang tidak bertanggung jawab itu. Secara reaktif beliau lantas menegaskan, "Pemerintah akan sekuat tenaga menjaga status Aceh sebagai Serambi Mekkah!"

DEMI mencermati diskursus tentang Tuhan dan prasangka tentang keterlibatan-Nya dalam bencana terakhir ini, Jaringan Islam Liberal berinisiatif melangsungkan diskusi soal "Tuhan Pacsa-Tsunami" yang bertempat di Freedom Institute, Selasa (11/1) lalu. Diskusi yang bertepatan dengan hari milad Ulil Abshar-Abdalla itu beranjak dan bertolak dari keprihatinan yang mendalam akan rumusan "teologi bencana alam" yang berkembang dan populer di tengah masyarakat dewasa ini.

Baik Goenawan Mohamad maupun Syamsurizal Pangabean yang bertindak sebagai pembicara dalam diskusi itu sama- sama prihatin akan rumusan teologis yang tidak sungkan- sungkan mengekspos "intervensi" Tuhan yang berlebihan dalam kiamat kecil itu. Kecenderungan seperti itu gampang sekali kita simak dari khotbah-khotbah Jumat, pengajian di majelis taklim maupun majelis zikir, atau ceramah keagamaan di sejumlah televisi.

Intinya, telah muncul rumusan teologi tentang bencana alam (tidak murni buatan manusia seperti tragedi Poso dan Maluku) yang pada akhirnya tetap terjebak di dalam dua perangkap teologis yang mengharukan: entah mengambinghitamkan korban bencana sendiri ataupun menyalahkan Tuhan yang dianggap sebagai pihak yang tak pandang ampun dan tak kenal belas kasihan menghajar hamba-hamba-Nya. Kedua kecenderungan itu rupanya juga bagian dari pandangan teologi masyarakat kita yang cenderung fatalistik.

Ketika rumusan teologis yang dikemukakan mengasumsi bahwa bencana Aceh adalah refleksi dari kemurkaan Tuhan, di situ secara eksplisit sudah terkandung nada-nada yang menyudutkan dan menyalahkan rakyat Aceh yang kini menjadi korban (blaming the victims). Sebaliknya, ketika bencana ini dianggap sebagai "ujian" Tuhan untuk umat manusia yang Dia cintai, sebagaimana yang dikatakan sejumlah kutipan kitab suci (perhatikan betapa beratnya ujian itu!), secara implisit kita juga sedang terlibat dalam proses menyalahkan Tuhan (blaming God). Kedua kecenderungan tadi tentu bukanlah rumusan teologis yang bisa dianggap elegan dan ideal tentang bencana alam.

Untuk itulah, kita diajak membuat rumusan teologis yang tidak gegabah dan potensial menambah luka dan duka rakyat Aceh sekaligus berpandangan elegan dan fair terhadap Tuhan sendiri. Itulah rumusan teologis yang sekarang sedang kita cari dan kita kehendaki.

Hanya saja, persoalannya tidaklah segampang yang kita kira. Sebagaimana dikemukakan Ulil Abshar-Abdalla dalam diskusi itu, godaan bagi agama (diwakili oleh pemuka agama ataupun juru khotbah tadi) ataupun ilmu pengetahuan untuk menjelaskan sejumlah misteri yang terkandung di dalam dunia ini teramat besar. Makanya, sejumlah misteri dan absurditas yang terkandung di dalam pelbagai peristiwa di dunia ini keduanya coba diterangkan baik oleh agama maupun ilmu pengetahuan.

Secara psikologis, manusia tidak pernah betah menjalankan hidup dengan menyisakan sejumlah misteri karena misteri adalah kegelapan. Dan, kegelapan pada hakikatnya adalah situasi yang cenderung dibenci. Untuk itu, kegelapan itu coba diterobos dan diterangi, baik dengan penjelasan ilmu pengetahuan maupun penjelasan agama atau teologi.

Tetapi, sudah nyata bahwa penjelasan ilmu pengetahuan dan penjelasan agama memang berbeda. Kita bisa memahami sebuah misteri secara lebih pasti dan dapat memverifikasinya secara ilmiah dengan perangkat dan metode yang disediakan ilmu pengetahuan. Sebaliknya, penjelasan agama tak jarang justru menjelma menjadi deretan spekulasi yang tiada henti. Dan, naifnya, kita tidak pernah kunjung bisa memverifikasi sisi kebenarannya kecuali meyakini saja. Kita sesungguhnya tidak pernah bisa menanyakan kebenaran "versi Tuhan" akan bencana Aceh, apalagi mendialogkannya secara langsung.

Karenanya, para sosiolog cenderung mengatakan bahwa "kebenaran agama" tidak pernah bisa dibuktikan dan bersifat prapengalaman. Walaupun sedang berspekulasi secara liar, dia selalu saja diimani sebagai kebenaran yang hakiki, sekalipun belum dibuktikan. Di sinilah problematisnya spekulasi- spekulasi tentang Tuhan dalam tsunami kemarin.

TIDAK seorang pun yang bisa membuktikan kalau Tuhan ikut aktif mengintervensi peristiwa tsunami yang kemarin menghantam kita. Siapa yang tahu pasti kalau hal tersebut ditujukan untuk memberi "pelajaran" kepada rakyat Aceh yang ironisnya justru taat beragama? Makanya, sembari melakukan proses evakuasi dan rehabilitasi Aceh, kita juga dipanggil untuk mencari rumusan teologi bencana alam yang lebih mengena. Sembari itu, ada baiknya kita juga tidak terlalu lancang dan sok mengerti soal apa sebenarnya yang dimaui Tuhan dari bencana ini.

Klaim atau perasaan bahwa kita tahu tentang apa yang dimaui Tuhan dalam bencana kali ini, sekalipun bersandar pada argumen dan landasan firman-Nya, sesungguhnya merupakan bentuk kesombongan yang tiada tara.